Pendahuluan
Demam Tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotype Typhi (S typhi). , Sementara Demam Paratifoid, penyakit yang gejalanya mirip namun lebih ringan dari Demam Tifoid disebabkan oleh S paratyphi A,B atau C.2 Bakteri S typhi hanya menginfeksi manusia. Orang biasanya menderita penyakit ini setelah memakan atau meminum makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh kotoran (feses) yang mengandung S typhi. , ,
Demam Tifoid merupakan penyakit endemik (penyakit yang selalu ada di masyarakat sepanjang waktu walaupun dengan angka kejadian yang kecil) di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Insiden infeksi Salmonella tertinggi terjadi pada usia 1-4 tahun. Angka kematian lebih tinggi pada bayi, orang tua dan pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang menurun (HIV, keganasan).3,4 Studi terakhir dari Asia Tenggara mendapatkan bahwa insidens tertinggi terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun.2 Kasus yang berujung pada kematian tidak lebih dari 1%, meskipun demikian, angka ini bervariasi di seluruh dunia. Di Pakistan dan Vietnam, dari pasien yang dirawat di rumah sakit, angkanya kurang dari 2 %, sementara di beberapa area di Papua Nugini dan Indonesia, angkanya bisa mencapai 30-50 %. Hal ini sebagian besar disebabkan karena tertundanya pemberian antibiotik yang tepat.
Patogenesis
Untuk menimbulkan penyakit, dibutuhkan jumlah tertentu S typhi yang masuk ke dalam saluran cerna. Sebelum sampai ke usus halus, kuman ini harus melewati asam lambung. Segala hal yang menyebabkan penurunan asam lambung (proses penuaan, obat-obatan untuk menurunkan asam lambung seperti antasid, anti H-2 reseptor, dan proton pump inhibitor), mempermudah kuman ini masuk sampai ke usus halus, akibatnya meski kuman yang masuk jumlanya hanya sedikit, yang bersangkutan akan jatuh sakit.
Setelah sampai di usus halus, kuman ini akan menempel di kelenjar getah bening di dinding usus bagian dalam (plak Peyer). Lalu kuman menembus dinding usus bagian dalam dan menyebar ke kelenjar getah bening usus lainnya sampai ke hati dan limpa.
Waktu yang dibutuhkan sejak kuman masuk sampai timbul gejala (masa inkubasi) sekitar 7-14 hari. Setelah itu kuman S. typhi akan masuk ke dalam darah (bakteriemia) dan dapat menyebar ke berbagai organ tubuh. Tempat bersarangnya kuman ini selain hati dan limpa adalah kandung empedu, sumsum tulang dan ada juga yang tetap menetap di plak Peyer.
Manifestasi Klinis
Setelah kuman masuk ke dalam saluran cerna, akan ada masa tanpa gejala (masa inkubasi) sekitar 7-14 hari. Pada saat bakteriemia, akan timbul demam. Suhu tubuh awalnya akan naik perlahan dan lebih tinggi setiap malamnya dari malam sebelumnya, dikenal dengan istilah Stepping ladder. Oleh karena itu, suhu tubuh harus diukur menggunakan termometer dan bukan hanya dengan perabaan. Hal ini berlangsung selama 7 hari, lalu setelah itu, suhu tubuh akan menetap tinggi sekitar 39-40 oC.
Selain demam, juga akan muncul gejala lain seperti flu-like symptoms, sakit kepala, lesu, tidak nafsu makan, mual, rasa tidak nyaman di perut yang sukar dilokalisir, batuk kering, konstipasi atau diare. Pada anak-anak dan orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh, diare lebih sering terjadi dibanding konstipasi.
Jika anak anda diperiksa oleh dokter, maka akan didapatkan anak tampak sakit berat, peningkatan suhu tubuh, bradikardia relatif (normalnya jika suhu tubuh meningkat 1 oC, maka denyut nadi akan meningkat 10 poin; hal ini tidak terjadi pada demam tifoid), lidah tifoid (permukaan lidah berwarna putih sementara tepinya berwarna merah), nyeri pada perut, pembesaran hati dan limpa. Pada ras kulit putih akan nampak bercak-bercak berwarna merah muda (rose spot) berukuran 2-4 mm di daerah dada dan perut. Tetapi, untuk ras kulit berwarna, bercak ini jarang sekali terlihat. Pada anak di bawah 5 tahun dapat terjadi penurunan kesadaran bahkan kejang.
DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis klinis untuk demam tifoid sukar untuk ditegakkan. Di daerah endemik seperti Indonesia, demam tanpa sebab yang jelas yang berlangsung lebih dari 7 hari harus dicurigai demam tifoid sebagai salah satu diagnosis yang mungkin. Pada pemeriksaan darah rutin, kadar hemoglobin, leukosit dan trombosit bisa dalam nilai normal atau sedikit menurun. Tes fungsi hati (SGOT/SGPT) biasanya meningkat ringan. Pada anak-anak, kadar leukosit bisa meningkat sampai 20.000-25.000/mm3. Kadar trombosit yang rendah mungkin berhubungan dengan derajat keparahan penyakit.
Untuk membantu penegakkan diagnosis, yang dijadikan standar baku adalah ditemukannya kuman S typhi pada biakan darah, biakan sumsum tulang, biakan getah empedu, biakan feses (yang paling lazim dikerjakan adalah kultur darah). Sementara itu pemeriksaan Widal tidak dianjurkan pada daerah-daerah endemis, seperti di Indonesia ini.
Biakan darah akan menghasilkan hasil yang positif pada 60-80 % kasus. Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan antibiotik sebelum sampel darah diambil dan jumlah darah yang diambil. Sampel darah diambil pada minggu pertama timbulnya gejala, biasanya sebanyak 10 – 15 mL. Sementara itu, biakan sumsum tulang akan menghasilkan hasil yang positif pada 80-95 % kasus, terlepas apakah sebelum sampel diambil sudah ada penggunaan antibiotik atau belum. Biakan yang berasal dari sumsum tulang memang lebih sensitif dari biakan darah karena pada dasarnya kuman S typhi lebih banyak berada di sumsum tulang daripada di darah. Meskipun demikian, sampel dari sumsum tulang lebih sulit untuk diperoleh daripada sampel darah. Setelah sampel diambil, sampel tersebut akan ditempatkan dalam medium yang mendukung tumbuhnya kuman S typhi tersebut (medium empedu). Dalam 48-72 jam, kultur tersebut akan dilihat di bawah mikroskop apakah terdapat kuman S typhi atau tidak.
Penggunaan tes Widal dalam membantu diagnosis demam tifoid masih kontroversial dan tidak dianjurkan. Hal ini dikarenakan tes Widal kurang sensitif dan kurang spesifik untuk diganosis, ditambah lagi hasilnya bervariasi antar daerah yang satu dengan daerah yang lain. Tes ini sebenarnya untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen O dan H dari S typhi. Masalahnya, tidak hanya S typhi yang memiliki antigen O dan H ini, tetapi Salmonella serotype lain juga. Selain itu antigen O dan H pada S typhi juga bereaksi silang dengan antigen Enterobacteriaceae. Pasien dengan demam tifoid juga tidak selalu menimbulkan kadar antibodi yang dapat terdeteksi ataupun menunjukkan kenaikan titer antibodi. Jika diagnosa demam tifoid ditegakkan hanya berdasarkan tes Widal ini, maka tidak jarang terjadi overdiagnosis.
Pemeriksaan penunjang lain masih dikembangkan untuk membantu mendiagnosis demam tifoid. Di Malaysia, sudah dikembangkan tes Thypidot dan Thypidot-M. Dari hasil penelitian, tes Thypidot dan Thypidot-M memang lebih unggul dibandingkan tes Widal, akan tetapi biayanya mencapai 4 kali biaya tes Widal. Di samping itu, tes Thypidot dan Thypidot-M tidak bisa menggantikan kultur dalam biakan empedu (gall culture) sebagai standar baku mendiagnosis demam tifoid. Meskipun demikian, jika secara klinis pasien diduga tifoid sementara hasil kultur negatif atau tidak bisa melakukan kultur darah, Thypidot-M ini bisa digunakan
TATALAKSANA
Di daerah endemik, lebih dari 60-90 % kasus demam tifoid dirawat di rumah dengan pemberian antibiotik dan tirah baring (bed rest). Jika tidak memungkinkan untuk di rawat di rumah atau terjadi komplikasi sebaiknya dirawat di rumah sakit. Selain pengobatan (medikamentosa) juga ada pengobatan non-medikamentosa untuk membantu proses penyembuhan demam tifoid.
Tatalaksana medikamentosa (obat-obatan) untuk demam tifoid:
1. Antibiotik, untuk membunuh kuman S typhi
Awalnya antibiotik yang digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah kloramfenikol. Selain kloramfenikol, amoxicillin dan trimethoprim–sulfamethoxazole (TMP-SMX) juga dapat digunakan.
Golongan florokuinolon (ofloksasin atau ciprofloksasin) dalam jangka waktu pendek (3-7 hari) juga terbukti ampuh dalam mengobati S typhi. Akan tetapi, obat ini masih kontroversi untuk digunakan pada anak-anak atau wanita hamil. Obat ini dapat mengganggu pertumbuhan tulang rawan anak. Selain itu, di beberapa daerah mulai muncul pula spesies S typhi yang resisten terhadap florokuinolon.
Jika kuman S typhi sudah resisten dengan florokuinolon, maka azitromisin dan golongan sefalosporin generasi terbaru (misalnya cefixime atau ceftriakson) dapat digunakan. Ceftriakson cukup aman untuk anak-anak dan wanita hamil.
2. Antipiretik, untuk mengurangi rasa tidak nyaman yang timbul akibat demam
Untuk anak-anak, bisa digunakan Paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kg BB, setiap 4-6 jam.
3. Steroid, hanya untuk demam tifoid yang berat, yaitu ensefalopati tifoid yang ditandai dengan penurunan kesadaran, koma, syok
Biasanya diberikan di rumah sakit karena butuh pengawasan ketat. Dapat digunakan Deksametason dengan dosis awal 3 mg/kg BB diikuti dengan 1 mg/kg BB setiap 6 jam selama 48 jam.
Tatalaksana Non-medikamentosa untuk demam tifoid:
1. Tirah baring (bed rest)
2. Asupan cairan yang cukup untuk mencegah dehidrasi karena demam
3. Makan makanan yang bergizi, rendah lemak dan lunak agar tidak memberatkan kerja usus
4. Jaga higiene dan kebersihan diri maupun orang yang merawat untuk menghindari penularan
5. Monitoring keadaan klinis dan waspadai tanda-tanda perburukan atau komplikasi
KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi pada 10-15 % kasus dan biasanya terjadi setelah 2 minggu pasien mengalami gejala. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain perdarahan saluran cerna, usus pecah (perforasi) dan ensefalopati tifoid.
Perdarahan saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi, sekitar 10 % kasus. Hal ini terjadi karena erosi/pengikisan plak Peyer yang sudah mati (nekrosis) dari dinding usus bagian dalam yang dilalui pembuluh darah. Biasanya akan terlihat darah di feses. Perdarahan biasanya ringan dan tidak membutuhkan transfusi. Hanya 2 % kasus yang menunjukkan perdarahan yang cukup fatal.
Perforasi usus adalah komplikasi yang cukup serius, terjadi pada 1-3 % kasus. Terdapat lubang di usus, akibatnya isi usus dapat masuk ke dalam rongga perut dan menimbulkan gejala. Tanda-tanda perforasi usus adalah nyeri perut yang tidak tertahankan (acute abdomen), atau nyeri perut yang sudah ada sebelumnya mengalami perburukan, denyut nadi meningkat dan tekanan darah menurun secara tiba-tiba. Ini membutuhkan penanganan segera.
Ensefalopati tifoid ditandai dengan penurunan kesadaran, koma, syok, hanya bisa berbaring dengan mata setengah tertutup. Dengan pemberian deksametason (steroid) 3 mg/kg BB melalui infus dalam 30 menit diikuti 1 mg/kg BB dalam 6 jam selama 48 jam, mengurangi angka kematian karena ensefalopati tifoid.
Meskipun pasien sembuh, ada sekitar 5-10 % yang mengalami kekambuhan, tetapi gejalanya lebih ringan dibanding sebelumnya. Untuk anak-anak biasanya angkanya lebih rendah, sekitar 2-4 %. Setelah sembuh pun, kadang kala di dalam feses pasien masih terdapat kuman S typhi yang dapat menular ke orang lain. Jika hal ini terjadi selama lebih dari 3 bulan, maka orang tersebut disebut pembawa (carrier) kronik. Meskipun demikian, tidak semua akan menjadi carrier kronik, kurang dari 2 % pasien anak akan menjadi carrier kronik, semakin dewasa, semakin mungkin menjadi carrier kronik. Wanita dan orang tua atau orang yang menderita batu saluran empedu (cholelitiasis) merupakan kelompok yang paling sering menjadi carrier kronik. Meskipun demikian, para carrier kronik tidak menunjukkan gejala apapun. Itulah, mengapa menjaga higiene pribadi dan lingkungan menjadi sangat penting untuk mencegah penularan penyakit ini.
PENCEGAHAN
Untuk dapat mencegah penyakit ini harus tahu terlebih dahulu cara penularan dan faktor resikonya.
Kuman S typhi menular melalui jalur oro-fekal, artinya kuman masuk melalui makanan atau minuman yang tercermar oleh feses yang mengandung S typhi. Di negara endemis seperti Indonesia, faktor resikonya antara lain makan makanan yang tidak disiapkan sendiri di rumah (karena tidak terjamin kebersihannya), minum air yang terkontaminasi, kontak dekat dengan penderita tifoid, sanitasi perumahan yang buruk, higiene perorangan yang tidak baik dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat.
Oleh karena itu, pencegahan yang paling sederhana adalah dengan mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air, menyiapkan makanan sendiri, tidak buang air besar sembarangan (di negara kita masih banyak keluarga yang tidak memiliki jamban sendiri), memasak makanan terlebih dahulu, bijak dalam menggunakan antibiotik.
Selain hal-hal di atas, saat ini sudah tersedia vaksin untuk tifoid. Ada 2 macam vaksin, yaitu vaksin hidup yang diberikan secara oral (Ty21A) dan vaksin polisakarida Vi yang diberikan secara intramuskular/disuntikkan ke dalam otot. Menurut FDA Amerika, efektivitas kedua vaksin ini bervariasi antara 50-80 %.
Vaksin hidup Ty21A diberikan kepada orang dewasa dan anak yang berusia 6 tahun atau lebih. Vaksin ini berupa kapsul, diberikan dalam 4 dosis, selang 2 hari. Kapsul diminum dengan air dingin (suhunya tidak lebih dari 37 oC), 1 jam sebelum makan. Kapsul harus disimpan dalam kulkas (bukan di freezer). Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan). Vaksin juga jangan diberikan pada orang yang sedang mengalami gangguan pencernaan. Penggunaan antibiotik harus dihindari 24 jam sebelum dosis pertama dan 7 hari setelah dosis keempat. Sebaiknya tidak diberikan kepada wanita hamil. Vaksin ini harus diulang setiap 5 tahun. Efek samping yang mungkin timbul antara lain, mual, muntah, rasa tidak nyaman di perut, demam, sakit kepala dan urtikaria.
Vaksin polisakarida Vi dapat diberikan pada orang dewasa dan anak yang berusia 2 tahun atau lebih. Cukup disuntikkan ke dalam otot 1 kali dengan dosis 0,5 mL. Vaksin ini dapat diberikan kepada orang yang mengalami penurunan sistem imun. Satu-satunya kontra indikasi vaksin ini adalah riwayat timbulnya reaksi lokal yang berat di tempat penyuntikkan atau reaksi sistemik terhadap dosis vaksin sebelumnya. Vaksin ini harus diulang setiap 2 tahun. Efek samping yang mungkin timbul lebih ringan dari pada jika diberikan vaksin hidup. Dapat timbul reaksi lokal di daerah penyuntikkan. Tidak ada data yang cukup untuk direkomendasikan kepada wanita hamil.